Nury's Foot Step

Backpacking ke Sukabumi ala Kami, cuma 95.000 (4hari)

Selamat sepanjang hari!

confused-love-quotes-2

Bermula dari jiwa raga yang haus akan kesenangan dan kebersamaan lewat ngegembel berjamaah, serta mengulang kesuksesan atas backpacker Tour de Java selama 5 hari yang menghabiskan 130rb saja (dipost di tulisan selanjutnya  yaa :d), maka kami mulai me-arrange untuk kembali menggembel ke tempat lain. Setelah melalui perundingan meja bundar yang cukup lama, akhirnya diputuskanlah pantai-pantai aduhai milik Sukabumi menjadi our next destination.

Bukan tanpa alasan memilih Sukabumi. Tidung terlalu jauh dan harus menyewa perahu untuk menyebrang pulau, kalaupun mau menghemat pasti tak mungkin mengganti perahu itu dengan menyelam sendiri dari Muara Angke ke Tidung, hueek! Makan tuh aer laut sejuta galon!haha..

Lalu Karimun, aah.. Jawa Tengah di musim liburan ga banget. Harus pake kereta dan pasti kalo musim liburan bakal ngantri.. Mau jalan ke Karimun? Ngomong nih sama tangan! -.-“

So, karena kita juga mendambakan harmoni deburan ombak dan alam sekitarnya, ditambah hasil gugling kesana-kemari yang dapat disimpulkan bahwa Sukabumi punya pantai-pantai keren, cus aw aw deh langsung ke sana (Ujung Genteng –  Cibuaya – Pangumbahan – plus Cirug Cikaso), yeah!!!

Maka meluncurlah kami ber-14 orang memulai perjalanan dari Terminal Leuwi Panjang Bandung, dengan menggunakan bus Hiba Putra jurusan Bandung-Sukabumi (15rb). Tak lupa deposit 100rb/orang dikumpulkan di bendahara perjalanan, hal ini memudahkan agar tak lagi menagih uang untuk keperluan selama perjalanan #tipsbackpacker ke-1. Tujuan pertama kami hari itu adalah home sweet home-nya salah satu teman kami yang berada di daerah Surade, tapi letaknya jauh dari Ujung Genteng, bisa dibilang ujung ke ujung, haha..
Perjalanan selama 5 jam itu kami isi dengan menggila berjamaah, bergosip ria, makan perbekalan yang sengaja kami bawa dari Bandung dan juga sedikit berdendang mengikuti nyanyian para penyanyi jalanan yang singgah ke dalam bus yang kami tumpangi. Ok, tidur sambil mulut mangap lebar dengan kepala miring kanan-kiri, depan belakang, bahkan sampai menabrak jok depan adalah hal biasa dalam perjalanan, itu juga kami lakukan, apal meureun.. :dd

Jam menunjukkan pukul 4.35 saat kami sampai di Pintu Hek, kami ber-14 segera turun. Ternyata perjalanan belum berhenti, cuy! Carter angkot adalah #tipsbackpacker ke-2 dalam tulisan kali ini. Sebuah angkot mungil kapasitas standar 11 orang dengan ukuran kecil kami sewa untuk membawa kami ke Terminal Jubleg. Kebayang lah, gimana “patumpuk” nya kami di dalam angkot itu, apalagi tidak semua dari kami berbadan kecil, contohnya saya! :d
Idealnya, tarif dari Pintu Hek – Terminal Jubleg adalah 5rb/orang. Tapi gara-gara angkotnya kami carter, jadi hanya 40ribu kami keluarkan dari kas. The power of nawar :d

45 menit kemudian kami sampai di Terminal Jubleg, ternyata (lagi-lagi) perjalanan belum usai (jauh amat sih rumah si Deri! -.-“). Saat itu perut kami kosong, “krrr.. krrr.. gerubuk.. gerrrubuurgg..” – kira-kira begitu bunyinya, mulut kami pun haus dahaga. Dengan menyewa angkot dengan tarif 100rb (seharusnya 10rb/orang), kami lanjutkan perjalanan dari Jubleg ke rumah Deri. Jalanan beraspal adalah plus nya, minusnya adalah setiap kurang dari 4 meter selalu kita menjumpai tikungan yang cukup tajam. Kepala dan badan kami seirama dengan jalur angkor yang kami naiki. Tak lupa, si perut kami yang sedang kosong ini juga ikut “melayang” mengikuti alur jalan raya, mual-ingin muntah.

Berkumandangnya adzan isya  seakan menyambut kami di rumah Deri. Aah, akhirnya sampai juga. Santap hidangan yang “super wah dahsyat” adalah kewajiban selanjutnya, mengingat perut kami sudah kelimpungan sejak di perjalanan tadi. Jagung rebus, comro hangat adalah jawaranya. “Nyam!” langsung kami habiskan. Ini adalah #tipsbackpacker ke 3, budayakan asas manfaat: manfaatkan kerabat yang ada di sekitar daerah wisata yang akan kita tuju :d

Keesokan harinya, the journey has began!

here we go!

Ya, kol buntung hitam ini akan menemani perjalanan Surade-Ujung Genteng-nya kami. Asyik banget ga sih? Berdesakan (15 orang) kami berbagi tempat duduk senyaman mungkin, ah..nikmati saja. Nyewa kol buntung ini berguna banget buat mangkas biaya perjalanan yang cukup besar #tipsbackpacker4. Kalau kamu beruntung, kamu bisa pake kol buntung dengan hanya membayar bensin saja, seperti yang kami lakukan dalam perjalanan kali ini,hehe.. Padahal, jika ditotalkan bisa lebih dari 50rb/orang untuk sekali perjalanan Surade-Ujung Genteng,alhamdulillah.
Menurut kabar yang kami terima, Surade-Ujung Genteng bisa ditempuh selama 6jam. Medannya jangan tanya (lagi), jalanan menanjak-berbatu-kanan kiri tebing terbayar dengan pemandangan indah nan hijau yang terhampar, juga gaya alay kami yang ber-15 menambah perjalanan yang seharusnya melelahkan itu jadi ga kerasa.

Ujung Genteng Beach
Ujung Genteng Beach

So, setelah menempuh perjalanan dan berdesakan disertai panas bujur yang teramat-amat selama kurang lebih 6 jam, kami akhirnya berhasil menapak di Ujung Genteng. Subhanallah, pasir pantainya yang putih bercampur dengan serpihan karang (bukan sukhoi) dan butiran debu (halaaah..), serta air lautnya yang sangat jernih adalah pemandangan teristimewa di pantai ini. Bayangin aja, kamu bisa liat dasar pantai sampe jarak yang lumayan jauh, kamu juga bisa ambilin pecahan-pecahan karang dan kalau beruntung ada kerang yang masih hidup pun bisa kamu ambil. Tapi walaupun kami berada di pinggir pantai, berada di Ujung Genteng cukup membuat kami menggigil, meski saat itu jam menunjukkan pukul 13.30 WIB.

Daerah Jampang punya banyak pantai, khususnya sekitar Pantai Ujung Genteng. Cibuaya dan Pangumbahan menjadi salah duanya. Jadilah selanjutnya kami meluncur segera ke dua pantai itu. Track Ujung Genteng-Cibuaya lumayan mulus, tapi gak begitu dengan Cibuaya-Pangumbahan, gara-gara kami salah memilih track jadilah jalur becek ga ada ojek menjadi santapan mobil kol buntung kami,haha.. Konyol memang!
Yang menarik dari Pangumbahan adalah setiap jam 5 sore, pengurus pantai di sana selalu menampilkan “atraksi” pelepasan ratusan anak penyu. Kalau pengunjungnya ga terlalu banyak, kamu bisa loh ikut ngelepasin penyu itu ke laut. Bahkan saking cupunya, beberapa temen saya sempet ngasih nama penyu yang dia pegang-so nangis bombay dan beradegan megang idung sambil bawa saputangan, haha.. hueks! Oh ya, pasir di Pangumbahan ga terlalu bagus kalo dibandingin sama Ujung Genteng dan Cibuaya, tapi gue rasa ombak di Pangumbahan paling besar dibandingkan dengan keduanya, so hati-hatilah kalau kalian main di pinggir pantainya.

Pangumbahan Beach
Pangumbahan Beach

Jam setengah 6 sore saat kita ninggalin Pangumbahan. Oh ya, kalo kalian ninggalin Pangumbahan di atas jam 6 sore, bermalam di penginapan sana kayanya bakal lebih baik. Jalur Pangumbahan-Ujung Genteng ngelewatin aliran sungai yang akan bermuara ke laut, biasanya ombak akan naik di atas jam 6 sore, kalo kalian lewat jalur itu salah-salah kalian akan terbawa arus juga,  naudzubillahimindzalik 🙂

Matahari sudah terbenam, udah kebayang kalo malam itu kami bakal bikin tenda darurat (asal bisa tidur) yang udah kami siapkan dari Bandung atau tidur di mesjid sambil menikmati hasil bakaran ikan. Oh ya, ikannya kami beli di Tempat Pelelangan Ikan Ujung Genteng (ssst..75rb kami dapat 5kg ikan looh: Kepiting 1.5kg, ikan pedang 2kg,  bawal 2.5kg :d). Tapi ternyata Allah lagi-lagi sangat baik sama kita, salah satu teman kami yang datang bersama keluarganya, nyewain sebuah bungalow khusus buat kita tidur,hehehe.. Jadilah malam itu kami tidak “terbengkalai” tidur di luar, hahaha.. Walaupun sempat diguyur hujan deras, pesta bakar-bakar ikan tetap terlaksana dengan aman sentosa doong. Hasil masakan  keroyokan kita, langsung disantap habis sama 23 orang! Emang bener-bener pada kelaperan kayanya malam itu, haha..

Besoknya, Curug Cikaso menunggu! Sebetulnya Curug Cikaso kalo ga lagi hujan, pemandangannya bakal bagus banget. Jadi Curug Cikaso itu air terjun yang punya 3 air terjun sekaligus. Sayangnya, gerimis mengundang ketika kami sampai di sana.

Balik lagi ke rumah Deri untuk numpang tidur dan makan di malam ketiga kami di Sukabumi. Maka lagi-lagi kami harus mengolbuntung kembali untuk sampai kesana. Berpanas bujur kembali, berhujan kembali :)).

Modifikasi Kol Buntung-nya kami :d
Modifikasi Kol Buntung-nya kami :d

Tepat hari ke-4, kami harus segera meninggalkan Sukabumi. Tak lupa dong, oleh-oleh khas Sukabumi kami beli. Nah, untuk sampai ke “Mochi Lampion” dan selanjutnya kami menuju Terminal Sukabumi, lagi-lagi kol buntung masih jadi angkutan favorit kami. Sepertinya slogan mendadak buat kami saat itu adalah “kalau sudah ada kol buntung, yang lain leeeewaaaat”, hahaha…
Harga “Mochi Lampion” ga bisa dikadalin, kaya waktu kita ngadalin mamang angkot jalur Jubleg-Surade atau dari Pintu Hek ke Jubleg. Walo (kalo dijumlahin) kita beli banyak, harga sedus Mochi Lampion tetep 25 ribu per 5 kotak T.T. Tapi, kesedihan harus selalu dibayar dengan kesenangan doong! Betul ‘ndak? Maka setelah membeli Mochi Lampion yang harganya kita bayar setengah hati, kita langsung melas ke mas-mas (yang kayanya) pemilik tuh toko buat  nyoba bikin langsung Mochi Lampion di pabriknya, hehe…
Mochi rasa blueberry berhasil kita cicipin! Satu orang dapet satu mochi, sayang juga ga berhasil ngadalin buat nyoba satu kotak perorang..haha..

Terminal Sukabumi menjadi tujuan terakhir hari itu. Lagu “selamat ulang tahun kami ucapkan” kami nyanyikan beramai-ramai di atas kol buntung yang tengah membawa kami ke Terminal Sukabumi. Si Agil milad, makanya kami sedikit bersuka cita di atas kol buntung saat itu.

Ngadalin mamang-mamang ternyata berlanjut sampai Terminal Sukabumi. Tarif Sukabumi-Bandung seharusnya 15ribu/orang. Eh taunya berhasil dirayu jadi 13rb/orang. Alhamdulillah deh, mengingat uang kami sudah habis untuk membeli si mochi lampion yang kami bayar setengah hati.

Akhirnya Bandung! Dengan segala kesenangan dan hedonisme yang kami rasakan dan terima di Sukabumi, kami semua sangat bersyukur! Yeaaah! Setidaknya kami punya tambahan cerita untuk anak-cucu-cicit kami nanti, bahwa kami pernah merasakan diguyur hujan lebat (saat berusaha menghemat uang) di atas kol buntung, bahwa kami pernah sangat baik diterima di rumahnya Deri, bahwa Babeh Dedi dan Mamah Liez sekeluarga sangat baik menyediakan penginapan gratis untuk kami (ga kebayang itu kalo harus bayar sendiri,hha), bahwa harga Mochi Lampion sangat mahal dan bahwa banyak hal menarik dan menakjubkan yang bisa kamu ambil kalau kamu “sedikit” melihat dan mencoba sesuatu yang baru di luar duniamu yang biasa.

Let’s Travel!

Bermilyar terima kasih untuk Deri sekeluarga – Babeh Dedi dan Mamah Liez sekeluarga, dan para gembelers yang selalu tak habis cerita bila bersama kalian, miss you guys!

18 thoughts on “Backpacking ke Sukabumi ala Kami, cuma 95.000 (4hari)

    1. if there’s a will, there’s a way..
      kurang lebih artinya: senyumlah di manapun.. hahaha
      selalu bisa, mas! apalagi kalo banyakan, bisa pangkas biaya gede2 an.. XD
      makasih udah baca dan komen^^

  1. sepertinya ada yang janggal dari tulisan ini
    perjalanan surade-ujunggenteng 6 jam
    wow
    setau saya surade uj gnteng hanya 22km itu bs dtempuh kurang dari 30 menit
    klo dr kota sukabumi mungkin ya 6 jam
    ngomong2 surade mana tuh
    mksdnya nama kmpung atw desanya
    krna surade itu kota kecamatan

    1. huwahahahhaha.. iya bener saya salah..
      harusnya sagaranten – jampang tengah. ntar saya rubah.. hihihiihi
      mahap yaak, salah redaksi niih :-

      btw, makasih udah baca dan komen^^

  2. wah,,andaikan ada temen di ujung genteng yg bisa di mintain tolong buat bermalam pasti lumayan mangkas budget ya,,,hehehe,,uenaknyaaaa ^_^ ada rekomendasi kah? *ngarep…

  3. mau nanya dunk, kalau dari pantai pangumban ato ujung genteng kalau mau ke curug cikaso ada angkutan umum ndak ya? hehehe

    1. kalo dari ujung genteng ke cikaso nya saya kurang tau.. tapi curug cikaso itu kalo dr jalan utama (curug cikaso terletak di daerah atas, sekitar 30-45 menit dari jalan utama) sepertinya bisa ditempuh dengan ojeg..
      karena terakhir saya ke sana, awal tahun 2012, dr jalan utama ke cikaso belum ada angkutan yg khusus kecuali ojeg atau jika memang mungkin bawa angkutan sendiri..

    1. kalo sudah lihat yg asli, gak secokelat yg ada di foto, mas.
      Mungkin bisa langsung dicoba dgn dateng ke sana.
      Kalau Pantai Pangumbahan mah betul cokelat pisan, hehe

Leave a reply to Reynadinee Cancel reply